Konsekuensi COVID-19 terhadap Pertanian dan Akses Pangan

Nawamharrun
3 min readOct 23, 2020
Photo by Falaq Lazuardi on Unsplash

Setidaknya 820 juta orang di dunia mengalami kelaparan kronis, 149 juta anak-anak mengalami stunting, dan sekitar 2 milyar orang menderita defisiensi mikronutrisi. Sebanyak 736 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrim dan tidak mampu memenuhi kebutuhan kalori energi untuk hidup normal, sehingga menjadi akar permasalahan kesehatan dan penurunan kekebalan tubuh (FAO 2015).

Masyarakat kelas bawah tidak mampu dan sulit memperoleh akses terhadap makanan selama pandemi COVID-19. Walau dalam skenario pandemi terkendali, 14 juta hingga 22 juta orang secara global bisa jatuh ke dalam garis kemiskinan akibat pandemi COVID-19 yang menyebabkan banyaknya pemberhentian kerja, hilangnya pendapatan, meningkatnya jumlah konsumen yang tidak bisa mengakses makanan, dan peningkatan krisis ketahanan pangan (IPES-Food 2020).

Akan tetapi, hal yang menjadi pertanyaan dalam memahami kelaparan di masa pandemi adalah bukan karena produksi hasil pangan yang rendah atau suplai pangan global yang tidak mencapai permintaan pasar, melainkan pemahaman kelaparan karena kemiskinan, defisiensi distribusi makanan, sampah makanan, kurangnya akses lahan dan faktor lainnya (Lappe, Collins, dan Rosset 1988).

Di kebanyakan negara, pembatasan berpergian, perdagangan, dan karantina seluruh wilayah telah membatasi aliran pangan yang diimpor dengan konsekuensi sulitnya kaum golongan bawah mengakses makanan. Hal ini menjadi masalah ketika negara dengan 270 juta penduduk lebih banyak menggantungkan sistem pangannya pada komoditas impor yang menempuh ribuan km jarak yang ditempuh dan tentunya meninggalkan jejak emisi karbon yang besar (Altieri dan Nicholas 2018).

Penurunan tajam lalu lintas darat dan udara membatasi kemampuan logistik untuk memindahkan bahan pangan segar dalam skala jarak jauh kepada masyarakat yang mengalami dampak langsung pandemi menjadi tantangan utama. Kabar buruknya, produksi pangan terus dilakukan tetapi tidak mampu diserap secara maksimal oleh konsumen dikarenakan tutupnya restoran, hotel, sekolah, dan ruang publik lainnya sehingga terjadi penumpukan bahan pangan di sektor hulu. Tanpa diragukan lagi, blokade rute transportasi secara jelas menghalangi rantai pasok pangan dan menghasilkan peningkatan limbah dan sampah makanan (Purdy 2020).

Dampak pandemi di sektor peternakan sangat buruk karena terjadi penurunan akses terhadap pakan ternak dan kapasitas rumah jagal, berkaitan dengan pembatasan logistik dan kekurangan buruh. Petani skala kecil yang memproduksi tanaman pangan berupa sayuran dan buah-buahan juga terpengaruh oleh kurangnya tenaga kerja dan penurunan daya serap konsumen karena penutupan pasar.

Permintaan bahan pangan segar juga berkurang karena banyak orang lebih memilih membeli bahan pangan yang memiliki masa simpan lama. Namun, hal ini justru akan meningkatkan ancaman penyakit seperti diabetes dan penyakit yang berhubungan dengan pola makan lainnya dikemudian hari akibat konsumsi bahan pangan instan secara berlebihan sehingga meningkatkan mortalitas COVID-19 (IPES 2020; UNCSN 2020).

Sumber:
Altieri MA and CI Nicholls. 2020. Agroecology and the reconstruction of a post-COVID-19 agriculture. The Journal of Peasant Studies. DOI:10.1080/03066150.2020.1782891
Altieri MA and CI Nicholls. 2018. Urban agroecology: designing biodiverse, productive, and resilient city farms. AgroSur 46: 49–60.
FAO. 2015. Agroecology for food security and nutrition.
IPES-FOOD. 2020. COVID-19 and the crisis in food systems: symptoms, causes, and potential solutions.
Lappe FM, J Collins, and P Rosset. World hunger: twelve myths, 2nd ed. New York: Grove Press.
Purdy C. 2020. COVID-19 is about to reach US farms in a major test for food supply chains.
UNCSN. 2020. The COVID-19 pandemic is disrupting people’s food environments.

--

--